Lahir di Singapura, 14 Januari 1968 dari pasangan Ibu Safinah binti Abdurrahman dan Bapak Abdurrahman bin Adnan. Beliau memiliki darah Banyumas-Ponorogo dari garis ibu dan melayu dari ayahnya dan merupakan putri pertama dari 4 bersaudara yaitu: 1). Waheeda binti Abdul Rahman 2). Zakhina binti Abdul Rahman 3). Umar bin Abdul Rahman dan 4). Sai bin Abdul Rahman.
Beliau dibesarkan di Queens Town dan hidup di lingkungan modern serba ada. Meski demikian, anak pertama dari keempat bersaudara ini selalu memegang teguh prinsip hidupnya bahwa ia selalu “do the best and be the best”. Masa kecil beliau dihabiskan bersama keluarga dan adik-adiknya yang selalu memprioritaskan pendidikan di atas segala-galanya. Umi kecil merupakan anak yang berprestasi dan berbakat hampir disemua mata pelajaran terutama dalam bidang olahraga dan bahasa inggris. Tak terhitung piala yang ia persembahkan bagi kedua orang tuanya sebab umi pun beberapa kali sukses menjuarai olimpiade fisika, tari melayu serta cabang olahraga lari.
Setamatnya dari Anglo Chinese Junior dan Secondary School, Umi melanjutkan studi di Cresent Girl School, mengambil jurusan sastra Inggris dengan O level Cambridge. Di tempat ini prestasi umi semakin meningkat terlebih ditunjang kemampuan bahasa Inggris yang baik.
Setelah tiga tahun menghabiskan masa remajanya di college, Umi memutuskan untuk menuntut ilmu agama dan nyantri di Indonesia, tepatnya di Darul Ulum International School di Surabaya. Selama berguru bersama As-Syekh Habib Saggaf, Umi telah mempelajari berbagai macam ilmu agama dan sukses melakukan transliterasi beberapa kitab kuning ke dalam bahasa inggris. Dalam perjalanan selanjutnya Umi mulai menghafal al-Qur’an dan tidak lama kemudian beliau memutuskan untuk menikah dengan Abah pada tanggal 5 Mei 1988 di Singapura.
Setelah itu Umi menetap di Indonesia mendampingi perjuangan Abah dalam berdakwah. Dari Darul Ulum, Abah mengembangkan sayap dakwahnya ke Bintaro dengan membuka sebuah Majlis Ta’lim di Masjid Raya Bintaro. Hingga kemudian Ditahun 2001 Umi memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan menjadi WNI (Warga Negara Indonesia).
Pada tanggal 14 Mei 1998, saat Indonesia mengalami krisis moneter di Orde Baru, Abah dan Umi melihat banyaknya remaja yang putus sekolah akibat himpitan masalah ekonomi. Akhirnya mereka sepakat untuk hjrah ke Parung Kabupaten Bogor, merintis berdirinya sebuah lembaga pendidikan bebas biaya yang kemudian masyhur di kenal dunia dengan nama Pondok Pesantren Nurul Iman. Disamping mendampingi suami dalam memimpin sekolah berbasis Islam dan bebas biaya ini, Umi pun melanjutkan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 2007. Setelah itu, beliau pun berhasil meraih gelar magisternya di London School Of Public Relation dan mendapat anugerah sebagai Best Student pada tahun 2010.
Namun ditengah-tengah prestasi dan bertambahnya santri, Allah berkehendak lain. Hari Jum’at, 12 November 2010, Abah berpulang ke rahmatulloh meninggalkan Umi, keluarga dan belasan ribu santri. Ucap singkat namun sarat makna yang beliau tinggalkan adalah “Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman harus tetap gratis sampai kiamat”.